More
    HomeBeritaDunia Hakim: Keheningan Judicial Tak Boleh Dicela, Menurut Arsul Sani

    Dunia Hakim: Keheningan Judicial Tak Boleh Dicela, Menurut Arsul Sani

    Apakah Bapak ada persiapan khusus sebelum dilantik Presiden sebagai Hakim Konstitusi?
    Secara khusus tidak ada persiapan. Kalau bicara perasaan ya tentu saya perasaan bersyukur, senang, itu ada. Tapi kalau itu tadi, kembali ke soal persiapan saya kira nggak ada yang khusus karena kan soal dilantik ini bukan pertama kali sebagai pejabat negara, kan dua kali menjadi anggota DPR itu kan juga dilantik mengucapkan sumpah.
    Tapi memang untuk Hakim Konstitusi ini agak istimewa, pertama karena pengucapan sumpahnya di Istana Negara, yang kedua kita bukan disumpah tapi kita mengucapkan sumpah di hadapan Presiden sebagai Kepala Negara.

    Kemudian soal status Bapak sebagai anggota DPR dan Wakil Ketua Umum PPP bagaimana?
    Pertama saya mengundurkan diri dari DPR, itu di awal Desember sudah saya lakukan ya. Proses administratifnya tentu berjalan dengan nanti penerbitan Keputusan Presiden. Kemudian di minggu keempat Desember, saya juga mengundurkan diri, baik dari jabatan sebagai Wakil Ketua Umum PPP ya maupun sebagai anggota partai.
    Jadi kalau soal pengunduran diri itu sudah saya lakukan. Bahkan bukan hanya dari DPR dan dari PPP, karena saya kebetulan menjabat Wakil Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Advokat Indonesia Peradi, itu saya juga sudah mengundurkan diri.
    Kemudian waktu sebelum masuk dunia politik saya kan seorang profesional lawyer begitu ya. Seorang konsultan hukum, punya law firm, saya juga sudah mengundurkan diri dari partnership law firm saya. Jadi sekarang ini alhamdulillah sudah benar-benar jadi orang bebas ini.

    Apa alasan Bapak menerima pencalonan sebagai Hakim Konstitusi dari dengan konsekuensi harus meninggalkan semua jabatan lainnya?
    Pertama begini, saya kebetulan mendapat amanah sebagai anggota DPR itu sudah dua periode ya, rasanya sudah cukuplah ada di rumpun kekuasaan legislatif. Nah, kemudian banyak ya teman-teman, sejumlah pihak menyampaikan gimana kalau kemudian bisa bergeser ke rumpun kekuasaan yang lain sebagaimana dulu Pak Mahfud MD.
    Pak Mahfud MD itu mulai dari eksekutif karena Menteri Pertahanan zaman Gus Dur ya. Kemudian masuk DPR sebagai anggota Komisi Hukum juga ya, berarti Beliau masuk ke ruang kekuasaan legislatif, habis itu masuk ke ruang kekuasaan yudikatif dengan menjadi Hakim Konstitusi dan kemudian terpilih jadi Ketua MK.
    Ya kira-kira meskipun barangkali tidak sehebat Beliau ya, saya kurang lebih ingin juga punya jejak seperti Pak Mahfud itu.

    Sebagai seorang politisi, bagaimana Bapak bisa meyakinkan publik bisa menjaga independensi dan juga netralitas dari intervensi partai politik, bahkan DPR yang telah memilih Bapak?
    Memang yang namanya kekuasaan yudikatif dan tentu terpersonifikasikan pada diri hakim ya, termasuk kalau MK itu berarti pada diri Hakim Konstitusi itu ada dua pondasi. Yang pertama pondasi yang bernama independensi, jadi jadi hakim itu termasuk Hakim Konstitusi harus independen.
    Independen itu artinya apa? Tidak boleh bergantung atau menggantungkan diri dari pengaruh, dari intervensi cabang atau rumpun kekuasaan yang lain, baik itu legislatif maupun eksekutif.
    Nah yang kedua pondasinya bernama imparsialitas, tidak boleh parsial, tidak boleh memihak. Artinya harus adil, adil dalam apa? Dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara.
    Jadi bukan karena itu katakanlah temannya, partainya, atau katakanlah koalisinya kemudian harus dimenangkan, sementara fakta, alat bukti, ditambah keyakinan hakimnya tidak mendukung untuk dimenangkan. Nah, ini harus kita pegang erat-erat dua pondasi ini, harus kita tegakkan gitu ya.
    Nah, pertanyaannya kan tadi bagaimana saya akan menunjukkan itu kepada masyarakat? Maka saya sampaikan ya, karena saya ini baru saja belum lama mundur dari politik, dari partai, dari PPP-lah begitu, maka kalau saya pribadi berkeinginan, saya belum tahu ya sistem dan aturan di MK-nya nanti akan seperti apa, kalau nanti ada sengketa pileg yang melibatkan PPP, apakah PPP atau caleg PPP sebagai pemohonnya atau PPP atau caleg PPP yang digugat kursinya, seyogianya saya tidak ikut memeriksa dan mengadili.
    Tidak ikut memutuskan juga. Nah itu apa, itu bagian dari menjaga independensi maupun imparsialitas itu tadi. Ada pertanyaan kemudian, nanti pilpres bagaimana, Pak Arsul? Karena kan PPP dalam pilpres kali ini kan berkoalisi dengan PDIP mengusung Pak Ganjar dan Pak Mahfud.
    Pilpres dengan pileg ini agak berbeda memang. Kalau pileg kan langsung yang bersengketa itu ada kemungkinan PPP-nya atau terhadap PPP yang dipersengketakan perolehan suara dan kursinya. Tapi kalau pilpres ini kan kita mengusung saja, sesungguhnya yang jadi pihaknya itu adalah paslon pilpresnya itu sendiri, kan seperti itu.
    Namun demikian, untuk menjaga independensi dan imparsialitas, hemat saya maka kalau menyangkut saya di sengketa pilpres itu biarlah delapan Hakim Konstitusi, delapan yang Mulia yang lain itu yang memutuskan saya boleh ikut apa tidak memeriksa dan mengadili. Jadi bukan saya yang ngotot saya harus memeriksa, tidak boleh begitu ya.
    Ini yang ada dalam pikiran saya, apakah yang ada dalam pikiran saya itu sesuai dengan sistem dan aturan yang ada di MK ya nanti kita lihat, saya tidak bisa memastikan itu karena saya kan belum masuk di sana.

    berita