Posisi kedua, makmum di luar masjid sedangkan imam di dalam masjid. Dalam posisi ini, syarat “berkumpul bersama” mempunyai ketentuan yang lebih ketat.
Para ulama mazhab Syafi’i menetapkan dua syarat. Syarat pertama, berdekatan (at-taqarub) antara makmum dan imam. Sebagian ulama merujuk kepada ‘urf dan sebagian yang lain menetapkan dengan jarak 300 dzira’ (kurang lebih 150 meter).
Artinya keberadaan makmum yang posisinya di luar masjid tersebut tidak melebihi 300 dzira’ dari batas terluar masjid. Hitungan jarak ini tidak presisi, melainkan perkiraan atau kurang lebihnya saja.
Hal ini seperti dijelaskan Al-Khatib Al-Syirbini dalam Hasyiyah Bujairami, juz 2, hal. 148):
وَإِنْ صَلَّى) الْإِمَامُ فِي الْمَسْجِدِ وَالْمَأْمُومُ (خَارِجَ الْمَسْجِدِ) حَالَةَ كَوْنِهِ (قَرِيبًا مِنْهُ) أَيْ مِنْ الْمَسْجِدِ بِأَنْ لَا يَزِيدَ مَا بَيْنَهُمَا عَلَى ثَلَثِمِائَةِ ذِرَاعٍ تَقْرِيبًا مُعْتَبَرًا مِنْ آخِرٍ الْمَسْجِدِ
Artinya:
“Jika imam shalat di masjid dan makmum di luarnya dalam kondisi dekat dari masjid yaitu sekira tidak melebihi jarak 300 dzira’ dihitung dari batas akhir atau batas luar masjid.” (Al-Khatib, Al-Iqna dalam Hasyiyah Al-Bujairimi ‘ala Syarhil Khathib, juz II, halaman 148).
Penghitungan jarak yang dimulai dari batas terluar masjid ini jika mengandaikan adanya kekosongan shaf antara batas masjid dan posisi keberadaan makmum. Jika shaf-shaf makmum berada hingga keluar masjid, maka jarak 300 dzira’ dihitung mulai dari akhir shaf hingga posisi makmum berada.
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj menjelaskan:
ومحلُّه إن لم تَخرُجْ الصفوفُ عَنه وإلا فمِنْ آخر صفّ قطعاً
Artinya:
“Hukum seperti itu dalam konteks jika shaf makmum tidak sampai keluar dari masjid. Jika sampai keluar maka dihitung dari shaf terakir secara pasti,” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj dalam Hawasyis Syirwani wabni Qasim Al-‘Abbadi, juz II, halaman 129).
Syarat kedua, tidak ada penghalang yang menghalangi makmum menuju imam, melihat imam, atau melihat shaf di depannya. Jika ada penghalang maka harus ada makmum lain yang menjadi penghubung (rabith) dengan posisi sejajar dengan tembusan seperti pintu yang terdapat di penghalang tersebut. Hal ini seperti dijelaskan Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in (I’anatutthalibin juz 2, hal. 35):
ولو كان أحدهما فيه أي المسجد (والآخر خارجه شرط) مع قرب المسافة بأن لا يزيد ما بينهما على ثلثمائة ذراع تقريبا (عدم حائل) بينهما يمنع مرورا أو رؤية (أو وقوف واحد) من المأمومين (حذاء منفذ) في الحائل إن كان
Artinya:
“Andaikan salah satu makmum dan imam ada di dalam masjid, sementara yang lain di luarnya, maka selain kedekatan jarak sekira tidak melebihi 300 dzira’ di antara keduanya secara kira-kira, disyaratkan pula tidak ada penghalang di antara keduanya yang mencegah untuk berjalan menuju kepadanya atau melihatnya, atau ada salah satu makmum yang berdiri sejajar dengan ruangyang menembus penghalang tersebut jika ada,” (Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in dalam I’anatut Thalibin, juz II, halaman 35).