Liputan6.com, Jakarta – Pelaku industri hasil tembakau (IHT) menolak aturan standardisasi kemasan polos (plain packaging) dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan turunan dari PP 28 Tahun 2024.
Aturan ini menyeragamkan kemasan produk tembakau dan rokok elektronik serta melarang pencantuman logo atau desain kemasan produk. Namun, para pelaku industri memperingatkan bahwa kebijakan ini bisa memberikan dampak yang tidak diharapkan, salah satunya adalah peningkatan peredaran rokok ilegal.
Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Henry Najoan menilai, kebijakan ini memiliki dampak signifikan yang perlu diperhatikan dengan serius.
Henry mengungkapkan kekhawatirannya terkait penerapan kemasan polos akan memicu maraknya peredaran rokok ilegal karena identitas produk akan sulit dikenali, sehingga konsumen beralih ke produk ilegal yang memiliki harga jauh lebih terjangkau.
“Kemasan polos ini tentu akan mempengaruhi seluruh pelaku industri tembakau, namun yang menjadi kekhawatiran utama kami adalah dampak dari persaingan tidak sehat dan maraknya rokok ilegal,” ujar Henry dalam diskusi di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Senada dengan Gappri, Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), I Ketut Budiman, turut menyuarakan soal desain kemasan polos.
Menurutnya, pasal ini tidak masuk akal dan tidak seharusnya ada di dalam aturan. Ia berpendapat bahwa kebijakan ini justru akan membuka peluang bagi peredaran rokok ilegal yang lebih sulit dikendalikan.
“Adanya kemasan polos sama saja membiarkan konsumen jadi buta, yang akhirnya malah akan menguntungkan produk ilegal. Makanya kami petani AMTI, petani tembakau, petani cengkeh, para pekerja ini ya menolak aturan kemasan polos,” kata Budiman.