Liputan6.com, Majalengka – Transformasi layanan kesehatan melalui sistem digitalisasi dinilai dapat menjadi solusi bagi isu diskriminasi layanan terhadap pasien, khususnya pasien BPJS Kesehatan.
“Kalau antrean online, kan, tidak terlihat mana pasien umum dan mana pasien BPJS Kesehatan sehingga tidak ada diskriminasi lagi, karena pelayanannya sama,” ujar Direktur Teknologi Informasi BPJS Kesehatan RI, Dr. Ir. Edwin Aristiawan, M.M., CPM-A., CCGO., QRGP., CCCO. di Majalengka, Jumat (7/6).
Edwin mengungkap, pasien BPJS Kesehatan kerap mendapat perlakuan diskriminatif dalam pelayanan kesehatan karena dianggap tidak memberikan ‘profit’ bagi fasilitas penyedia layanan kesehatan. Padahal, kata Edwin, penyumbang pendapatan fasilitas pelayanan kesehatan terbesar datang dari pasien BPJS Kesehatan.
“Dulu, pasien BPJS terdiskriminasi karena dianggap bayarnya murah. Padahal tidak seperti itu, meskipun tarifnya lebih murahh dari pasien asuransi tapi jumlahnya kan banyak. Jadi sekitar 80-90 persen pendapatan rumah sakit, ya dari pasien BPJS,” kata Edwin.
Edwin pun bertekad menghapus perlakuan tersebut. Dia ingin pasien BPJS maupun non-BPJS diperlakukan sama. Untuk itu, menurutnya, perlu ada penerapan digitalisasi medis guna mengikis fenomena tersebut.
Edwin berpendapat, digitalisasi medis akan mewujudkan transformasi layanan kesehatan dan melindungi pasien BPJS dari perlakuan diskriminatif.
“Transformasi mutu layanan adalah mudah, cepat dan setara, setara itu tidak diskriminasi. Kita membawa pasien BPJS ke rumah sakit, kan membayar ke rumah sakit. Itu paling besar porsinya dibandingkan asuransi yang lain atau pun umum. Makanya kita lindungi pasien BPJS itu dengan tadi agar tidak didiskriminasi, kalau dulu kan ‘Dari BPJS ya? Nanti aja,’,” jelasnya, dikutip dari keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com.
Â