Home Berita Apakah Akan Ada Lagi Wamenkumham Tersangka Penerimaan Gratifikasi?

Apakah Akan Ada Lagi Wamenkumham Tersangka Penerimaan Gratifikasi?

0

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yang bersangkutan diduga tersandung kasus penerimaan suap dan gratifikasi. Meski demikian, lembaga antirasuah itu belum menjelaskan lebih rinci siapa yang memberi suap kepada Eddy Hiariej. Namun, diketahui, awal kasus ini berdasarkan laporan oleh Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso. Di mana, berdasarkan informasi yang dimilikinya, menduga pemerimaan gratifikasi oleh Eddy Hiariej dilakukan melalui asisten pribadinya Yogi Arie Rukmana sebesar Rp7 miliar. Penerimaan itu disebutkan Sugeng terjadi pada April 2022 sampai dengan Oktober 2022. Pelaporan itu terkait posisinya sebagai Wamenkumham dalam konsultasi kasus hukum dan pengesahan badan hukum PT CLM. Sebab, PT CLM kini tengah bermasalah di Polda Sulawesi Selatan dalam kasus dugaan tindak pidana izin usaha pertambangan (IUP). “Sekarang adalah proses menyelesaikan pengumpulan barang bukti, kemudian pemeriksaan saksi kita agendakan ke depan,” kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri di gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat (10/11/2023). “Saat ini kami butuh waktu, kami butuh proses untuk menyelesaikan perkara. Karena tentu kami tidak ingin grusa grusu, tentu kami ingin menyampaikan aspek formil, materil dari perkara itu sendiri,” sambungnya. Ali pun belum mengungkapkan, besaran gratifikasi dan suap yang diterima oleh Eddy Hiariej. Meskipun demikian, dia menuturkan telah berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). “Terkait soal itu kami sudah berkoordinasi dengan PPATK, kami sudah lama ada sinergi dengan PPATK untuk menelusuri aliran uang dan transaksi mencurigakan, termasuk dugaan gratifikasi di Kemenkumham, sudah mendapat banyak data,” jelasnya. Dia pun mengungkapkan, pihaknya akan melakukan analisis lebih jauh nanti dari proses penyidikan sebagai materi. “Silahkan teman-teman ikuti di proses PN Tipikor,” kata Ali. Sementara, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut sebenarnya total ada empat orang tersangka. “Empat orang tersangka, dari pihak penerima tiga, pemberi satu,” kata dia secara singkat, Jumat (10/11/2023). Sementara, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana menyebut pihaknya selalu berkolaborasi dengan Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK) terkait adanya dugaan transaksi mencurigakan pejabat negara. Ivan memastikan selalu menyerahkan dokumen transaksi mencurigakan kepada lembaga antirasuah, termasuk transaksi mencurigakan dalam kasus yang menyeret nama Eddy Hiariej. “Kan memang semua penanganan tugas masing-masing antara PPATK dan KPK jika terdapat irisan kewenangan (TPPU-Korupsi), pasti dilakukan kerjasama tukar menukar informasi,” ujar Ivan dalam keterangannya, Kamis (9/11/2023). Berkaitan dengan kebenaran adanya transaksi mencurigakan yang dilakukan Eddy Hiariej, Ivan enggan membicarakannya lebih jauh. Menurut Ivan, hal itu bukan kewenangan PPATK. “Kalau itu bisa langsung konfirmasi ke penyidiknya ya,” kata dia. Menanggapi hal itu, Koordinator Humas Setjen Kemenkumham, Tubagus Erif Faturahman mengatakan pihaknya akan berpegang pada asas praduga tak bersalah hingga ada putusan pengadilan yang bersifat tetap. “Beliau tidak tahu menahu terkait penetapan tersangka yang diberitakan media karena belum pernah diperiksa dalam penyidikan dan juga belum menerima sprindik maupun SPDP,” jelas Tubagus dalam pesan singkat diterima, Jumat (10/11/2023). Dia menambahkan, terkait bantuan hukum, hal itu harus dikoordinasikan lebih dulu dengan pihak terkait. “Bantuan hukum dari Kemenkumham akan kita koordinasikan terlebih dahulu,” jelas Tubagus.    Saling Adu  Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengaku tidak heran lagi atas kasus yang menjerat Eddy Hiariej sebagaimana yang telah lebih dulu dilaporkan oleh ketua IPW Sugeng Teguh Santoso atas dugaan kasus gratifikasi. Boyamin menduga kasus itu bermula dari Eddy memberikan bantuan pengesahan badan hukum dari perusahaan Helmut kepada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham. “Urutannya itu adalah Rp4 miliar, Rp3 miliar, dan Rp1 miliar. Rp4 miliar konon katanya untuk upah lawyer, Rp3 miliar tambahan lagi untuk menutup perkara yang menyangkut Helmut karena dia juga dilaporkan di Polri, tapi janji itu tampaknya yang Rp3 miliar tidak terpenuhi, yang Rp1 miliar untuk permintaan membiayai kegiatan persatuan tenis lapangan Indonesia, organisasi olahraga, yang ini juga diduga untuk money politics uang yang diperoleh dari Helmut tadi,” ucap Boyamin dalam keterangannya, Jumat (10/11/2023). “Sehingga kemudian ini konflik kepentingan. Mestinya kalau pak wamenkumham melayani orang yang mengadu karena sengketa, ya dilayani saja jangan minta upah karena memang tugasnya dia,” tambah dia. Boyamin menuturkan, sebagai orang nomor dua yang menduduki jabatan Kemenkumham, Eddy Hiariej dapat segera melaporkan akan hal tersebut kepada pihak KPK tanpa harus turun tangan secara langsung hingga akhirnya diduga menerima uang gratifikasi. Sejauh ini pun KPK juga belum menerapkan pasal untuk menjerat Eddy, Boyamin menyerahkan hal itu kepada KPK. “Konstruksinya bisa gratifikasi, suap, bisa pemerasan, tapi terserah KPK pasal ini seperti apa,” terang dia. Boyamin juga menambahkan, lembaga anti rasuah itu pun dapat melakukan upaya paksa terhadap Eddy baik itu penangkapan ataupun penahanan. Namun, Kuasa hukum mantan Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri Helmut Hermawan, M. Sholeh Amin membantah dan mengklarifikasi dugaan penyuapan dan gratifikasi kepada Sharif Hiariej alias EOS. Menurut dia, perkara tersebut adalah murni pemerasan dengan ancaman yang dilakukan EOS sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM kepada Helmut Hermawan, sebagai korban. “Klien kami sebagai korban mengadukan kepada Indonesia Police Watch atas dugaan pemerasan dengan ancaman, pemaksaan, dan menakut-nakuti yang dilakukan oleh Wamenkumham EOS. Atas pengaduan itu, Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso selanjutnya melaporkan hal itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada Maret 2023 lalu,” kata M. Sholeh Amin, Jumat (10/11/2023) Sholeh Amin menceritakan awal mula perkenalan antara Helmut Hermawan dengan EOS. Menurut dia, kedua orang itu diperkenalkan oleh Anita Z., seorang pengacara yang juga merupakan teman sekampung EOS yang juga merupakan guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada sekaligus Wamenkumham. Perkenalan tersebut, kata Sholeh Amin, bertujuan untuk berkonsultasi dan meminta perlindungan hukum sekaligus menanyakan mengenai perkara pidana yang dihadapi oleh Helmut Hermawan(HH), Thomas Azali (TA) (pemilik 97,5 persen PT APMR yang memiliki 85 persen saham PT CLM), Emanuel Valentinus Domen (EVD) (Dirut PT APMR) melawan pihak Aserra Capital (Apexindo Group). Hasilnya, berdasarkan analisa dan pendapat dari EOS, perkara tersebut dinyatakan bukan merupakan tindak pidana melainkan kasus perdata. Atas hasil konsultasi tersebut, EOS, menunjuk asisten stafnya yang bernama Yogi (sespri) sebagai penghubung untuk berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pihak TA, HH, dan EVD dalam menangani masalah yang di hadapi. EOS juga merekomendasikan seorang pengacara yang bernama Yosi (mantan mahasiswa EOS) kepada TA, HH, EVD untuk menangani perkara yang dihadapi dan membantu permasalahan yang sedang bergulir di Badan Reserse Kriminal, Mabes Polri. “Dikarenakan sebagai pejabat negara EOS tidak dapat terlibat dan membantu secara langsung,” ujar Sholeh Amin. Sholeh Amin mengatakan, EOS mengarahkan Helmut Hermawan untuk berkonsultasi kepada Yosi selaku pengacara perusahaan. Selanjutnya, kata dia, Yosi pada pertemuan yang berbeda menjelaskan bahwa jasa hukum yang akan diberikan kepada Helmut Hermawan tidak gratis dan biayanya adalah sebesar Rp 4 milliar. “Karena nominal jasa hukum yang ditawarkan yang cukup besar, klien kami yang saat itu sebagai Direktur Utama dari PT Citra Lampia Mandiri, harus meminta persetujuan TA, selaku pemilik perusahaan dan merangkap Direktur Keuangan, dan EVD selaku Dirut dari PT APMR, holding yang memiliki 85 persen saham di PT CLM,” beber Sholeh Amin. Selanjutnya, atas persetujuan bersama, PT CLM kemudian mengirimkan lawyer fee atau biaya jasa hukum sebesar Rp 4 miliar. Uang tersebut dikirim dua kali pada 27 April 2022 sebesar Rp 2 miliar dan pada 17 Mei 2022 Rp 2 miliar. Sholeh Amin mengatakan, Helmut Hermawan, TA dan EVD, dimintai secara proaktif uang sejumlah Rp 3 miliar dalam bentuk SGD ± 235.000,- dengan iming-iming untuk mengeluarkan SP3 kedua atas permasalahan di Bareskrim. “Apabila uang tersebut tidak diberikan, maka status tahanan dalam penangguhan akan dibatalkan dan klien kami beserta TA dan EVD dapat ditahan kembali,” beber Sholeh Amin. Dia mengatakan, Yogi dan Yosi menyampaikan bahwa EOS mengenal baik dan memiliki kedekatan dengan salah satu petinggi di Bareskrim Polri. Sholeh Amin mengatakan, atas bujuk rayu dan terutama ancaman akan ditahan kembali, maka TA selaku pemilik perusahaan bersama EVD selaku Dirut PT APMR dengan terpaksa menyetujui permintaan tambahan uang Rp3 miliar tersebut. Sholeh Amin melanjutkan, pada 18 Oktober 2022, permintaan uang terjadi kembali. Menurut dia, Wamenkumham EOS secara proaktif melalui Yogi meminta sejumlah uang kepada PT APMR / CLM untuk promosi dan menyelenggarakan acara pemilihan dirinya sebagai Ketua Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PP Pelti). Pada awalnya, kata Sholeh Amin, PT CLM menolak untuk memenuhi permintaan itu. Namun, Wamenkumham EOS melalui Yogi terus mendesak agar PT CLM memberikan uang. Atas jabatan yang dimilikinya selaku Wamenkumham dan ancaman bahwa SP3 yang dijanjikannya tidak akan diterbitkan, maka TA dan EVD menyetujui dan menginstruksikan staf perusahaan untuk memberikan uang sejumlah Rp 1 miliar.

Exit mobile version