Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola menilai penangkapan Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba ini menandakan budaya birokrasi yang masih transaksional. Fenomena ini, kata Alvin terus terjadi karena korupsi dalam birokrasi terjadi di dalam jaringan ikatan sosial berkelanjutan di antara pihak-pihak yang terlibat.
Ada sejumlah problem sehingga fenomena korupsi dan suap menyuap di daerah terus berlanjut. Pertama, upaya pencegahan korupsi di birokrasi selama ini hanya fokus pada reformasi administratif. Dalam konteks pengisian jabatan, faktanya mekanisme seleksi lelang terbuka dan asesmen berbasis teknologi saat ini tidak mampu mengurai jaringan paternalistik di dalam birokrasi.
Bahkan suap jabatan juga pada umumnya hanya menjadi pintu masuk praktik korupsi lanjutan. Setelahnya skema ‘setoran’ yang serupa juga dimanfaatkan oleh kepala daerah agar pejabat tidak dimutasi dan di-non job kan. Kemudian untuk memastikan setoran berjalan, pejabat akan terus memanfaatkan dana dari proyek-proyek yang dikelolanya.
“Artinya ini semacam lingkaran setan korupsi yang tak ada habisnya,” ujar Alvin kepada Liputan6.com di Jakarta.
Kedua, hal ini sangat erat kaitannya dengan politisasi birokrasi akibat kencangnya patronase politik. Di mana jabatan publik yang terbatas ini dikomersialisasikan oleh kepala daerah sebagai sumber keuangan baru untuk modal politik, baik mengganti biaya kampanye sebelumnya ataupun kepentingan pemilihan mendatang.
Fakta ini dibuktikan dengan adanya indikasi dana hasil suap diperuntukkan melakukan survei elektabilitas di akhir masa jabatan tahun depan.
“Hal ini mengartikan partai politik juga harus ikut bertanggung jawab. Proses pemilihan kepala daerah saat ini masih banyak mengharuskan mahar politik yang tak sedikit, dan justru pada gilirannya kontraproduktif dengan semangat reformasi birokrasi itu sendiri,” ujar dia.
Ketiga, kata Alvin pengawasan penerapan sistem merit sesuai mandat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 mengenai Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dan PP No. 11 tahun 2017 tentang Manajemen PNS tak berjalan efektif, terutama dalam konteks sistem pengisian jabatan di luar jabatan pimpinan tinggi (JPT).
Disisi lain, penerapan mekanisme asessment pegawai untuk mengetahui tingkat kompetensi pegawai di OPD juga belum optimal.
“Di berbagai daerah, kita masih mudah menemukan ada kepala daerah terpilih memberikan jabatan kepada anggota dari tim suksesnya atau diberikan kepada orang dengan garis saudara yang sama atau satu keluarga. Kondisi ini tentu menciderai prinsip-prinsip dan nilai dari sistem merit itu sendiri,” ujarnya.
“Terus berulangnya kasus jual beli jabatan ini juga menunjukkan kita perlu mempertanyakan secara serius dimana peran Kemenpan RB, KPK, Tim Nasional Pencegahan Korupsi, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Ombudsman,” ujarnya.
Bagaimana Memutus Lingkaran Setan Ini?
Alvin mengatakan, perlunya memperkuat peran pengawas internal, yakni Inspektorat dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di PBJ terkait dalam proses pengangkatan jabatan di level eselon III atau IV.
“Keterlibatan ini penting mulai dari mekanisme pengawasannya hingga siapa saja yang terlibat di dalamnya. Organ ini memiliki kecakapan terkait penelusuran rekam jejak dari para kandidat. Hasil penelusuran tersebut dirangkum dalam sebuah nota rekomendasi yang kemudian dapat menjadi pertimbangan bagi tim seleksi,” ujarnya.
Kemudian, implementasi sistem merit perlu diikuti penerapan pedoman konflik kepentingan ini. Karena pada akhirnya, siklus koruptif ini berdampak pada menurunnya kualitas pelayanan publik.
Dalam proses seleksi, Badan Kepegawaian Daerah (BKD) di masing-masing wilayah perlu aktif membuka kanal pengaduan masyarakat terkait rekam jejak calon sebagai bahan pertimbangan panitia seleksi, yang secara khusus melihat dari sisi integritas calon.
“Keterbukaan ini diharapkan dapat meningkatkan pengawasan dari masyarakat terhadap para kandidat sehingga proses seleksi dapat berjalan lebih kompetitif dan menghindari risiko jual-beli jabatan,” ujarnya.
Lalu, kata Alvin, BKD juga perlu menaruh perhatian serius pada pembangunan assessment center sehingga dapat melaksanakan proses seleksi yang layak, memberikan peningkatan kapasitas secara serius kepada kandidat, merespon cepat kekosongan jabatan melalui proses talent pool dan talent management, serta merumuskan mekanisme-mekanisme yang dibutuhkan agar indepedensi dan keragaman dari panitia seleksi tetap terjaga.