HUKUMKriminal.Net, SAMARINDA: Calon Gubernur Kaltim nomor urut 2 Rudy Mas’ud beberapa pekan lalu diterpa “angin” politik tak sedap terkait isu dinasti politik, lantaran beberapa orang saudaranya saat ini memasuki kancah politik dan memiliki posisi penting.
Di Balikpapan, kakak Rudy Mas’ud bernama Rahmad Mas’ud SE ME kembali mencalonkan diri sebagai Wali Kota Balikpapan setelah sebelumnya menduduki posisi itu periode 2019-2024.
Dua saudara lainnya masing-masing Ir H Hasanuddin Mas’ud S Hut ME dan Syahariah Mas’ud SE saat ini menjadi anggota legislative Kaltim, dimana Hasanuddin yang akrab disapa Hamas menduduki posisi Ketua DPRD Kaltim.
Terkait isu dinasti politik tersebut, Rudy yang selalu terlihat bersemangat di setiap kesempatan bertemu warga, menanggapinya juga dengan penuh semangat.
Dalam rekaman video yang beredar di saluran WhatsApp, Rudy yang tengah berada di dalam sebuah Speed Boat menjelaskan, di dalam dunia politik Indonesia menganut sistem demokrasi. Bukan ditunjuk, karena bukan kerajaan, bukan monarki.
“Dipilih, yang memilih adalah rakyat. Jadi bukan penunjukan, kita bukan appointed tapi elected. Siapa yang menentukan itu adalah masyarakat, dan rakyat yang memilih itu,” jelas Rudy.
Kenapa selama ini bisa terpilih, kata Rudy, ia mempersilahkan menanyakan ke masyarakat. Mungkin karena punya kompetensi, punya energi, punya kapasitas, dan punya kapabilitas.
“Kapasitas ini kan adalah kemampuan, kapabilitas ini adalah pengetahuan,” jelas Rudy.
Terkait isu dinasti politik tersebut, ahli Tata Negara Associate Professor Dr Elviandri SHI MHum, Dosen Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT), yang diminta pandangannya mengatakan, jika melacak akar sejarah kepemimpinan dunia tidak bisa melepaskan diri dari dinasti politik.
Karena keberadaan kekuasaan itu hanya beredar pada orang-orang sekitarnya, di dalam bentuk kerajaan kekuasaan turun kepada anaknya. Dan itu masih ada sampai sekarang di sejumlah negara seperti Inggris, Belanda, Malaysia, Brunei dan sejumlah negara lainnya.
“Islampun dengan dinasti politik itu, berkembang tujuh abad. Ada Bani Umayyah ada Bani Abbasiyah, artinya Islampun di situ perginya (dinasti politik-red),” kata Prof Elvi, melalui sambungan telepon, Senin (28/10/2024) sore.
Di dalam alam demokrasi, jelasnya lebih lanjut, warga negara didukung konstitusi bahwa semua orang memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih.
“Semua kita berhak memilih dan dipilih, kecuali orang yang oleh hukum diambil haknya berdasarkan putusan Pengadilan, dicabut hak politiknya,” jelas Prof Elvi.
Baca Juga:
Ketika itu masuk ke ranah kepemimpinan publik, harus dipahami konsekuensi demokrasi itu semua orang berhak. Dalam Pemilu, yang memilih itu masyarakat.
Prof Elvi mengatakan, ia tidak sedang mempertentangkan tentang etika atau kepatutan pada pergantian kepemimpinan nasional atau pemilihan Kepala Daerah. Namun ia menyoroti proses menjadi pemimpin atau Kepala Daerah itu. Terkait dinasti politik itu, harus dilihat dari prosesnya. Karena Pemilu Indonesia itu jujur, adil, dan transparan.
“Itu yang perlu kita bahas, bukan siapa menjadi apa, tidak. Tapi proses dia menjadi apa, itu seperti apa. Apakah konstitusional, apakah demokratis. Konstitusional mungkin, jangan-jangan tidak demokratis,” jelasnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, demokrasi itu ada namanya demokrasi prosedural, ada demokrasi subtansial. Untuk menilai apakah itu dinasti politik atau bukan, maka gunakan demokrasi subtansial bukan demokrasi prosedural.
“Kalau kita mau mengkaji tentang dinasti politik, maka kajilah demokrasinya dari sisi subtansial. Jangan pernah memaksakan mengkaji demokrasi prosedural kepada dinasti politik, karena pasti benar itu. Ketika antitesanya demokrasi subtansial, belum tentu,” jelasnya.
Disinggung mengenai seseorang yang maju dalam sebuah kontestasi Pilkada dari keluarga yang sama dengan kapasitas dan kapabilitasnya, apakah bisa menjadi acuan dikatakan sebagai dinasti politik. Menurut Prof Elvi, konsekuensi dalam Pemilu itu adalah elektabilitas bukan kompetensi. (HUKUMKriminal.Net)
Penulis: Lukman