Pemberantasan korupsi telah menjadi fokus utama di Indonesia setelah reformasi tahun 1998. Berbagai instrumen khusus, seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, dibentuk untuk menangani kejahatan korupsi. Namun, Proses seleksi hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menghadapi berbagai masalah, seperti kekurangan partisipasi akademisi, seleksi yang terburu-buru, kurangnya anggaran, proses rekam jejak yang kurang optimal, dan kurangnya kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Pembentukan pengadilan Tipikor di berbagai daerah di Indonesia meningkatkan kebutuhan akan jumlah hakim Tipikor yang berkualitas dan bermoral tinggi. Namun, tantangan dalam proses seleksi hakim ad hoc, seperti kekurangan partisipasi akademisi, keterbatasan waktu, kekurangan anggaran, proses rekam jejak yang tidak optimal, dan kurangnya kerja sama dengan PPATK, menyebabkan penurunan kinerja pengadilan tersebut.
Diperlukan upaya untuk memperbaiki proses seleksi hakim Tipikor agar dapat menjamin terpilihnya hakim yang berkualitas dan terpercaya untuk memerangi korupsi dengan efektif. Inisiatif seperti kerja sama dengan lembaga terkait dan peningkatan transparansi dalam proses seleksi akan menjadi langkah penting dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.