Sistem diagnosis ini juga dirancang untuk mendukung pelaksanaan survei darah massal di lapangan.
“Dalam kondisi endemis, satu apusan darah bisa memerlukan pengamatan terhadap 500 hingga 1.000 eritrosit atau 200 leukosit. AI dapat mempercepat proses ini tanpa mengorbankan akurasi,” ujar periset dengan latar belakang penelitian di bidang pengolahan citra dan biometrik ini.
Selain efisiensi, sistem ini juga membuka peluang untuk diagnosis jarak jauh (remote diagnostics) sehingga sangat relevan digunakan di daerah terpencil.
Pengetahuan dan pengalaman mikroskopis juga disimpan dalam sistem AI sehingga dapat membantu tenaga kesehatan dengan pelatihan terbatas.
Anto juga menekankan bahwa pengembangan AI dalam bidang biomedis memerlukan perhatian khusus terhadap karakteristik dataset, kualitas data, pemilihan model, serta metode evaluasi performa yang tepat. Dengan kata lain, AI tidak bisa bekerja sendiri. Kolaborasi antara ahli komputasi dan peneliti biomedis adalah syarat mutlak agar teknologi ini dapat diandalkan.
“Kita tidak bisa hanya mengandalkan kemampuan komputasi. Pemahaman atas konteks medis adalah kunci agar hasil diagnosis benar-benar bermanfaat bagi pasien,” ujarnya.
Dengan potensi besar untuk meningkatkan ketepatan diagnosis dan efisiensi layanan kesehatan di wilayah endemis, BRIN optimistis teknologi AI akan menjadi mitra strategis dalam upaya pengendalian malaria nasional. BRIN berupaya terus menyempurnakan sistem melalui riset kolaboratif dan uji coba lapangan yang lebih komprehensif, sebagai bagian dari upaya mendukung program eliminasi malaria di Indonesia.