:strip_icc()/kly-media-production/medias/5321773/original/021195300_1755680116-tirachardz.jpg)
Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh psikiater yang lama menangani pasien ADHD, Dr. Bill Dodson. Dia menemukan pola serupa pada banyak pasien, yaitu penolakan kecil saja dapat memicu emosi ekstrem.
“Seseorang dengan RSD bukan hanya sensitif terhadap kritik, tapi juga sangat keras pada diri sendiri saat merasa gagal,” kata Dr. Dodson.
Lebih lanjut, dia, mengatakan,”Perubahan suasana hati bisa terjadi sangat cepat, dari netral menjadi marah atau putus asa hanya dalam hitungan detik.”
Sementara itu, Ketua Departemen Psikiatri di Saint Louis University School of Medicine, Dr. Erick Messias, mengatakan, sensitivitas terhadap penolakan memang umum pada berbagai gangguan suasana hati dan kepribadian. Namun, konsep RSD menurutnya membantu menjelaskan sisi emosional khas pada penderita ADHD.
Meski masih diperdebatkan di kalangan medis, banyak ahli sepakat bahwa istilah ini berguna untuk memahami bahwa reaksi berlebihan bukan sekadar sifat sensitif. Itu adalah refleksi dari cara otak penderita ADHD memproses emosi secara lebih intens.
Belum ada pengobatan medis khusus untuk RSD. Namun, terapi perilaku dan teknik pengelolaan emosi dapat membantu penderita mengenali serta mengontrol reaksinya.

