Home Berita Judul: Laporan Kolusi-Nepotisme Jokowi dan Keluarganya, Apakah Akan Ditindaklanjuti oleh KPK?

Judul: Laporan Kolusi-Nepotisme Jokowi dan Keluarganya, Apakah Akan Ditindaklanjuti oleh KPK?

0

Pengamat Politik dari Indonesia Politik Opinion (IPO) Dedi Kurniansyah pesimis jika laporan TPDI ke KPK tersebut dapat diterima dan diusut tuntas. Ia yakin, laporan dugaan nepotisme Jokowi tersebut bernasib sama dengan laporan yang pernah ditujukan ke KPK terkait dugaan korupsi keluarga Jokowi.

“Bukan karena faktor dasar hukum yang tidak kuat, tetapi karena kekuasaan Jokowi,” kata Dedi kepada Liputan6.com di Jakarta.

Meskipun sebenarnya, kata Dedi, dari sisi hukum memang ada upaya praktik nepotisme dalam satu rangkaian.

“Kita bisa membayangkan Jokowi sebagai Presiden yang punya kekuasaan mengendalikan alat negara, polisi dan militer, termasuk dalam praktik mengendalikan penyelenggara pemilu. Lalu, jika Gibran kalah dalam Pilpres ada potensi gugatan ke MK, dan sekali lagi di ruang sidang ada Anwar Usman sebagai paman yang punya akses memutuskan,” kata dia.

Untuk itu, laporan ke KPK tidaklah cukup sehingga seharusnya diteruskan ke Ombudsman.

“Serta mendesak Jokowi serta Anwar Usman untuk mundur dari kekuasaannya saat ini,” ujarnya.

Sementara Pengamat Politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing menilai TPDI salah tempat dengan melaporkan Jokowi dan keluarganya ke KPK atas tuduhan kolusi dan nepotisme. Menurutnya, selama ini KPK hanya mengusut tindak pidana korupsi, bukan kolusi dan nepotisme.

“Selama ini saya melihat bahwa KPK hanya memproses tindak pidana korupsi, apakah nepotisme tepat dilaporkan ke KPK? Seharusnya ini diajukan melalui proses pengaduan umum kalau ada pasalnya, atau lembaga penegakan umum. Kenapa tidak dilaporkan ke polisi saja?,” kata Emrus kepada Liputan6.com di Jakarta.

Namun, kata Emrus, TPDI juga harus membuktikan adanya korupsi dalam nepotisme tersebut agar dapat diproses oleh KPK.

“Kalau nepotisme itu ada di situ, tentu buktikan korupsinya. Supaya bisa diproses KPK. Mereka akan dilihat secara tindak pidana korupsinya,” ujar dia.

Meski demikian, Emrus mengakui bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan kepala daerah di bawah 40 tahun bisa maju di Pilpres 2024 ada aroma nepotisme.

“Kalu dilihat tak lama setelah putusan MK itu lalu Gibran diumumkan menjadi cawapres, maka amat sulit diterima akal sehat itu tidak ada nepotismenya,” kata dia.

Dia menilai keputusan MK juga diskriminatif terhadap kaum muda. Sebab, hanya kepala daerah saja yang diberi kesempatan maju pilpres di usia muda.

“Apa hebatnya kepala daerah? Kenapa harus diberi previlage kepada kepala daerah? Harusnya diberikan kepada semua warga negara Indonesia,” ujarnya.

Emrus pun berharap agar Majelis Kehormatan MK bisa memutuskan apakah hakim MK melanggar kode etik atau tidak.

“Untuk memastikan apakah ada nepotisme atau tidak, sekarang di proses di MKMK, bagaimana prosedur hal tersebut, Dewan kehormatan akan lakukan sidang etik nanti. Bisa saja hakim diputus melanggar etika, tapi keputusannya terus berlaku,” ujarnya.

Sementara Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari menilai berdasarkan undang-undang, Ketua MK Anwar Usman dan Presiden Jokowi jelas melakukan nepotisme.

Seperti pada pasal 1 nomor 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi Nepotisme disebutkan bahwa: “Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara’.

“Maka terang benerang apa yang dilakukan Jokowi dan Anwar Usman adalah nepotisme,” kata Feri kepada Liputan6.com di Jakarta.

Sehingga Anwar Usman dan Jokowi bisa dipidana jika terbukti melakukan nepotisme. Hal tersebut terdapat pada pasal 22 yang menyebut: “Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah),” tulis UU tersebut.

“Sebagaimana ketentuan pasal 22 dapat disanksi pidana menurut saya sudah cukup tepat jika dilihat di putusan MK lalu konsolidasi politik di Koalisi Indonesia Maju yang mencalonkan Gibran jadi cawapres,” ujarnya.

“Jadi wajar saja kalau ada upaya melaporkan, karena penyelenggara negara memang harus bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme,” lanjut Feri.

Exit mobile version