Pada era 1940-an hingga 1950-an, Amerika Serikat diserang oleh gelombang kasus polio yang meningkat. Salah satu individu yang terkena dampaknya adalah seorang bocah laki-laki bernama Paul Alexander dari Dallas, Amerika Serikat. Saat itu, pada tahun 1952, Paul masih berusia enam tahun.
Akibat infeksi virus polio, tubuh Paul mengalami kelemahan yang signifikan sehingga separuh tubuhnya, mulai dari leher ke bawah, mengalami kelumpuhan. Keadaan ini membuat Paul kehilangan kemampuan untuk bernapas secara mandiri. Ketika ia sadar di rumah sakit, Paul mendapati dirinya terkungkung dalam sebuah silinder paru-paru besi, sebuah perangkat yang dirancang untuk membantu pasien dengan kelumpuhan otot dada agar dapat bernapas dengan bantuan tekanan udara, seperti dikutip dari Washington Post.
“Saat itu saya tidak bisa berbicara, tidak bisa berteriak, tidak bisa menangis,” ucap Paul dalam sebuah podcast bernama Pandemia pada tahun 2022. “Saya benar-benar tidak bisa melakukan apapun,” tambahnya.
Meski mengalami keterbatasan tersebut, Paul tidak menyerah. Dia berjuang dengan tekun untuk bisa berbicara meskipun harus tetap menggunakan alat bantu untuk bernapas. Selain itu, Paul juga belajar bagaimana cara bernapas sendiri tanpa ketergantungan terhadap alat tersebut.
Kemajuan dalam bidang kedokteran membuat silinder paru-paru besi seperti yang digunakan oleh Paul menjadi usang pada tahun 1960-an dan digantikan oleh ventilator. Namun, Paul tetap memilih tinggal dalam silinder paru-paru besi yang telah menjadi bagian dari kehidupannya selama bertahun-tahun karena dia merasa sudah terlalu terbiasa dengan perangkat tersebut.