Penyelesaian hukum terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai hambatan yang kompleks. Secara kultural, sebagian besar masyarakat cenderung menghindari penyelesaian secara hukum dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, memilih penyelesaian kekeluargaan yang seringkali dapat menyisakan ketidakadilan bagi korban. Data riset Litbang Kompas tahun 2022 menunjukkan bahwa sebagian besar kasus kekerasan dialami oleh perempuan diselesaikan dalam lingkungan keluarga, dengan sebagian besar korban memilih untuk merahasiakan kasus tersebut.
Dari segi struktural, terdapat hambatan dalam akses pelaporan dan pendampingan hukum bagi korban kekerasan berbasis gender. Banyak masyarakat merasa bahwa fasilitas pelaporan masih belum mencukupi, sementara pendampingan hukum bagi korban kekerasan seksual juga dinilai kurang memadai oleh sebagian besar responden. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan preventif yang lebih proaktif dari pemerintah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kekerasan berbasis gender.
Pengarusutamaan bahwa ‘kekerasan terhadap perempuan adalah kejahatan’ perlu ditingkatkan pemahamannya oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama yang memiliki akses terbatas terhadap informasi. Media sosial dapat menjadi sarana efektif dalam menyebarkan informasi dan menciptakan kesadaran akan pentingnya penyelesaian hukum dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, perlu diperluas akses pelaporan dan pendampingan hukum bagi korban sebagai langkah kuratif yang dapat menangani kasus-kasus kekerasan berbasis gender.
Eksposur terhadap kasus kekerasan berbasis gender harus mendorong diskusi dan perancangan kebijakan serta hukum yang lebih efektif untuk melindungi perempuan. Menuntut penegakan hukum yang konsisten dan perbaikan produk hukum menjadi langkah penting dalam meredam kekerasan terhadap perempuan. Sebagai negara yang beradab, kita semua memiliki tanggung jawab untuk menempatkan perempuan pada posisi yang terhormat dan bebas dari segala bentuk kekerasan.
Oleh: Yudhi Wibhisana, Praktisi Hukum dan Mahasiswa Socio-Legal Studies Universitas Indonesia