:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/2736322/original/011557200_1550899448-photo-1543269865-4430f94492b9.jpg)
Liputan6.com, Jakarta Cinta memang menjadi salah satu pengalaman manusia yang paling membingungkan. Menurut psikolog dan terapis hubungan, dokter Cheryl Fraser, perasaan jatuh cinta sebetulnya merupakan reaksi kimia otak yang bersifat sementara.
“Falling in love adalah kondisi emosional dan biokimia yang intens. Hal ini merupakan campuran antara ketertarikan seksual dan keterikatan psikologis yang terasa nikmat, tapi sangat sementara,” jelasnya.
Dia, menjelaskan, ketika seseorang merasa klik dengan orang lain, sensasi itu nyata, tetapi belum tentu berarti cinta sejati.
“Tubuh dan pikiran Anda bereaksi terhadap orang itu. Anda memikirkannya terus-menerus, tapi ingat, mungkin pernah merasakan hal yang sama pada orang lain sebelumnya,” katanya.
Dia, menambahkan, perasaan intens di awal hubungan sering kali disamakan dengan cinta, padahal itu lebih mirip dengan ketergantungan atau obsesi yang dihasilkan oleh aktivitas kimia otak.
Meski begitu, para ahli sepakat bahwa tidak ada waktu pasti untuk jatuh cinta. Setiap orang memiliki ritme dan pengalaman yang berbeda. Yang penting bukan seberapa cepat perasaan itu muncul, tetapi seberapa dalam dua orang saling mengenal dan membangun keterikatan emosional yang tulus.
“Cinta itu dinamis. Ia punya banyak fase, wajah, serta pasang surut. Kita bisa jatuh cinta, keluar, lalu jatuh cinta lagi pada orang yang sama,” tambahnya.
Psikolog lain, Cortney S. Warren, menambahkan bahwa secara ilmiah, rasa jatuh cinta memang bisa muncul sangat cepat.
Hasil penelitian dari Syracuse University menunjukkan bahwa stimulasi otak bisa memunculkan sensasi cinta hanya dalam 0,2 detik setelah kontak visual pertama.
Namun, ia menegaskan bahwa sensasi itu lebih merupakan efek euforia dari hormon seperti dopamin, oksitosin, dan adrenalin, bukan cinta sejati.

