Home Kesehatan Ropina Tarigan: Waktu Tahu Anak Asuh Saya Pengidap HIV, Pihak Sekolah Kaget

Ropina Tarigan: Waktu Tahu Anak Asuh Saya Pengidap HIV, Pihak Sekolah Kaget

0

Apa saja bentuk diskriminasi yang dialami anak-anak asuh Ibu?

Dulu-dulu awalnya mereka sebelum ke kita itu diskriminasinya kencang. Begitu ketahuan di sekolah, dikeluarkan. Tapi caranya beda. Kalau anak Ibu enggak keluar, kata kepala sekolah nih, ini anak-anak yang lain keluar. Sekolah kan kita enggak bisa salahin, ya kan?

Tetapi setelah yang seperti tadi saya contohkan ya, tiga bulan anak itu masuk terus saya datang ke sekolah, saya ngomong sama kepala sekolah. Pak, anak saya yang kemarin saya masukkan itu adalah anak yang terinfeksi HIV. Kaget banget tuh kepala sekolahnya.

Kenapa Ibu enggak kasih tahu dari awal bahwa anak Ibu itu HIV, gini-gini. Pak, sekarang sudah masuk, saya kasih tahu Bapak, Bapak masih seperti ini. Apalagi waktu pertama saya kasih tahu, pasti enggak diterima. Terus dia diam.

Terus saya bilang gini, Pak, tolong dikasih tahu sama gurunya. Karena anak saya ini akan ambil obat setiap bulan, jadi dia akan izin setiap bulan. Nanti di rumah sakit itu akan diperiksa tinggi badannya, berat badannya, segala macamnya. Baik Bu, nanti akan saya sampaikan.

Setelah disampaikan gurunya ngomong ke kepala sekolah, Bapak kayak enggak ada murid yang lain ya Pak? Anak yang HIV saja diterima. Wah, telepon saya lagi, Bu Vina ini gimana? Guru saya begini-begini. Pak, kumpulkan saja guru-gurunya, jangan ada satu pun yang luput ya Pak. Dikumpulkanlah sama dia dan saya sampaikan. Sudah selesai, sudah enggak ada masalah.

Eh enggak lama kedengeran sama orangtua murid. Bu, orangtua murid saya begini. Pak sama, kumpulkan saja Pak. Saya bilang gitu saja, dan lagi-lagi saya bicara dan anak itu sekolah sampai lulus.

Apakah setelah lulus mereka masih bersama Ibu?

Ini yang bikin saya paling sedih lagi, anak-anak ini lulus SMA kadang-kadang diminta lagi sama neneknya. Saya mau cerita satu anak. Jadi dia untuk lulus SMA pun kita berjuangnya setengah mati. Dia mungkin pengen, ya karena itu mungkin dilihat di TV kehidupan yang yang glamour, dia kemudian menjual dirinya.

Pasti pertanyaannya, dari mana Ibu tahunya? Jadi pas lagi ujian, kita kan selalu kerja sama sama kepala sekolah dengan yayasan. Ibu Vina, ini anaknya enggak masuk ini, padahal lagi ujian. Saya telepon neneknya dan dibilang sudah pulang dari hari Minggu.

Kalau dulu, pokoknya sebelum 2015 anak-anak itu datang ke kita hari Minggu sore, pulangnya hari Jumat sore. Karena Sabtu-Minggu kan libur. Kenapa balik Minggu? Karena hari Senin sekolah, kayak gitu. Nah, dia bilang sudah pulang dari hari Minggu, tapi enggak sekolah. Terus saya bilang ke kepala sekolah untuk mengabari kalau anaknya masuk sekolah.

Saya juga berpesan untuk mengambil HP-nya, saya bilang sama guru BP-nya gitu. Hari ketiga dia masuk, dia ikut ujian. Saya panggil adik saya ada yang polisi. Maksud saya buat nakutin gitu, supaya jangan kayak gitulah sekolah, bayar uang sekolah itu kan mahal, Rp500 ribu sampai berapa gitu per bulan waktu itu.

Akhirnya adik saya datang, saya sama Bapak juga datang ke sekolah. Ternyata di dalam HP-nya itu ditulis di situ semua. Mulai tawar-menawar, dengan si Om pengen yang virgin. Dari mulai Rp800.000 sampai Rp250.000 dia menjual dirinya.

Bagaimana penularannya? Kalau mereka pulang ke rumah neneknya saya kan enggak melihat mata kepala saya sendiri. Obatnya dimakan apa enggak? Dengan tidak makan obat, otomatis virusnya akan banyak. Penularannya akan tinggi. Akhirnya dia dinasihati jangan begitu lagi. Akhirnya dia bisa lulus.

Setelah lulus sekolah, terus neneknya bilang cucunya akan dibawa pulang. Oke enggak apa-apa. Akhirnya dia kerja di salah satu bank. Bangga dong saya, bangga banget. Senang saya ngomong sama orang dia sekarang gini-gini.

Akhirnya dia enggak tahu pacaran-pacaran, bulan Desember kemarin hamil 6 bulan dia telepon, Bu Vina aku mau married. Nangis. Tapi kata dia, Nenek kasih tahu status aku sama calon suami aku, gini-gini, gimana? Padahal besok sudah mau menikah. Gila enggak, last minute baru ngomong. Haduh, saya langsung telepon neneknya.

Kenapa nenek lakukan itu? Kan kasihan nanti kalau orang itu tertular. Kan saya sudah pernah bilang, jangan nenek yang ngomong. Saya yang ngomong, karena saya tahu selahnya, cara berbicaranya, anak ini korban. Cucu nenek ini korban. Jadi saya yang nanti ngomong sama calon suaminya, saya bilang gitu.

Akhirnya saya telepon calon suaminya. Saya bilang, kamu enggak usah takut. Yang penting sekarang kamu pakai casing, pakai kondom saya bilang, supaya kamu jangan tertular. Tapi saya juga berpikir jangan-jangan ini sudah telat, mungkin sudah beberapa kali mereka berhubungan, ya kan?

Tapi ya paling enggak adalah masukan buat dia supaya dia mengerti, seperti itu. Saya tanya lagi ke anaknya, kamu sudah berapa lama enggak minum obat? Sudah lama, jawabnya. Coba bayangkan penularannya seperti lingkaran setan. Sudah pasti lelaki ini rasa saya sih kemungkinan sudah terinfeksi.

Itu Desember dia married. Kira-kira sebulan yang lalu apa dua bulan yang lalu saya kurang ingat persis, tiba-tiba neneknya telepon. Bu, si anu sudah melahirkan di rumah, yang menolong bidan. Saya sudah bingung, saya bergerak mau gimana lagi gitu.

Terus saya tanya kondisinya gimana sekarang, dijawab batuk-batuk, sesak napas. Saya bilang, sekarang bawa ke rumah sakit, sekarang! Jangan sampai nanti menyesal! Dianggap remeh atau ya mungkin keuangan jugalah. Saya kebetulan memang sudah di PP IBI kan, sudah mulai agak sibuklah. Dibawalah ke rumah sakit, kira-kira di jalan meninggal emaknya. Anaknya lahir 1,5 kg.

Terus saya bilang, ya saya sudah malas juga, saya mau datang saja dalam hati saya sudah menangis. Di dalam hati saja sudah. Kayaknya air mata tuh sudah kering gitu. Nah, saya bilang ini si kecil harus dibawa ke rumah sakit.

Lantas bagaimana kondisi si anak sekarang?

Tapi untungnya si anak masih selamat sampai hari ini. Kemarin terakhir timbangannya 1,9 kg. Ya lumayan lah berapa ons naiknya, 4 ons ya? Nah, seperti itu. Itu perih lho. Kita menyekolahkan itu bukan suatu yang mudah, tetapi sepertinya ya perasaan kita, apa yang saya usahakan sia-sia.

Tapi suami tuh selalu bilang, kamu jangan berpikir segala sesuatu sia-sia. Apa yang sudah kita lakukan itu semua ada catatannya. Jadi saya berpikir, oh iya juga ya gitu. Tapi ada rasa sedih gitu, kenapa ya gitu. Kok sampai kayak gini. Jadi kalau anak-anak yang keluar dari tempat kita enggak lama biasanya. Setahun, dua tahun, tiga tahun, lewat.

Tapi ya mudah-mudahan yang ada sekarang ini full time ya, 24 jam mereka di sini, enggak pulang-pulang lah. Karena kasus-kasus yang itu menjadi pelajaran juga buat kita, karena kita enggak punya tempat belajar, belum ada kan tempat kita belajar. Kita belajar sendiri seperti itu.

 

 

Source link

Exit mobile version